Assalamualaikum Wr Wb

Wilujeng sumping ka sadayana di blog abdi, mugia aya manfaatna...
.









Minggu, 14 November 2010

Belajar optomis dan kerja keras dari Hajar

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baytullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘y antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah: 158).
Ketika Ibrahim menempatkan Hajar di tempat yang gersang, tandus dan sangat asing baginya, maka Hajar pun bertanya kepada suaminya, “Apakah ini kehendak Allah?” Ibrahim menjawab bahwa apa yang ia lakukan semata-mata hanya berdasarkan perintah Allah. Karena perintah atau kehendak Allah, maka Hajar rela ditinggalkan suaminya di tempat yang gersang, tandus dan jauh dari tempat tinggal suaminya. Ia pasrah pada kehendak mutlak Allah. Ia rela ditinggalkan hanya bersama anaknya, Ismail. Tidak ada orang lain. Di sini berarti, orang Islam harus patuh dan tunduk kepada kehendak mutlak Allah.
Setelah perbekalan yang ia bawa habis, maka Hajar tidak duduk termangu dan menangis putus asa menyesali nasib. Tidak. Hajar tidak duduk berpangku tangan menunggui puteranya. Ia tidak mengharapkan keajaiban. Ia tidak mengharapkan kedatangan tangan gaib yang akan membawakan buah-buahan dari sorga dan membuatkan sungai untuk menghilangkan lapar dan dahaganya. Tidak. Ia “serahkan” anaknya kepada Allah, kemudian berlari-lari mencari air. Dari sini berarti orang harus berserah-diri hanya kepada Allah, kemudian berusaha, bukan berpangku tangan, bukan menyesali nasib, bukan meratap menangis, dan bukan berdoa mengharapkan keajaiban.
Jerih payah Hajar tidak mendatangkan hasil. Dengan sedih ia kembali ke tempat anaknya. Akan tetapi, di tengah-tengah kedukaannya itu ia terkejut: Anak yang ditinggalkannya dalam keadaan haus dan meronta-ronta di bawah “penjagaan” Allah itu ternyata telah menggali pasir dengan tumitnya dan dari tempat yang tidak disangka-sangka itu keluarlah air yang ia cari-cari. Inilah Zamzam. Ia (zamzam) diperoleh setelah berdaya upaya walau didapat bukan di tempat di mana ia dicari. Pelajaran yang bisa diambil adalah rizki hanya diperoleh hanya melalui usaha, setelah usaha. Kalau dari tempat usaha (beraktifitas, beramal) itu tidak mendapatkan apa-apa, bisa jadi Allah akan memberinya dari tempat lain yang tak terduga sebelumnya. Jadi, bisa saja rizki yang diperoleh itu tidak dari tempat di mana ia berusaha/bekerja. Di sini berlaku yarzuqhu min haytsu la yahtasib (memberinya rizki dari tempat yang tidak disangka-sangka).
Hajar mencari air dimulai dari bukit Shafa, kemudian berlari ke bukit Marwa. Shafa berarti “kesucian” dan Marwa berarti “kemurahan dan kemaafan.” Berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwa disebut Sa‘y. Kata sa‘y merupakan bentuk mashdar dari kata sa‘a - yas‘a - sa‘yan yang berati “berusaha, berkerja, berjalan, berlari.” Sa‘y ini dilakukan dengan gerak mau ke depan di jalan yang lurus. Ini berarti, orang harus berusaha. Usahanya diawali dari tempat yang suci, dengan niat yang suci dan dijalani dengan bergerak maju di atas jalan yang lurus. Berlari bolak-balik adalah sebuah evaluasi diri yang senantiasa harus dilakukan untuk menilai diri supaya kerja/usaha yang dilakukan tetap berpijak pada tempat yang suci, niat yang suci, dan tetap ditempuh di jalan yang lurus, jalan yang benar.
Hasil dari usaha itu berakhir di Marwa yang berarti “kemurahan dan kemaafan.” Artinya, hasil usaha tidak untuk dinikmati sendiri, tetapi untuk kepentingan bersama, sebagaimana air Zamzam bukan hanya untuk Hajar dan Ismail, tetapi untuk seluruh umat manusia. Kalau ternyata orang yang ikut menikmati hasil usaha itu tidak berterima kasih kepadanya, maka ia harus berlapang dada memaafkannya.
semoga amal ibadah ibadah haji dan kurban kita di terima Allah Swt.
Wallahu a‘lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar