Assalamualaikum Wr Wb

Wilujeng sumping ka sadayana di blog abdi, mugia aya manfaatna...
.









Rabu, 27 Oktober 2010

UMI, ALLAH ITU DI MANA?

Pertanyaan itu mungkin saja keluar dari mulut anak-anak kaum muslimin.. Lalu, apa biasanya jawaban para orang tua terhadap anak-anak yang bertanya demikian?
Tak bisa dipungkiri bahwa begitu banyak kaum muslimin itu tidak tahu (awam) tentang keberadaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan banyak para du’at/da’i atau ustadz yang tidak tahu keberadaan Allah. Banyak diantaranya yang bilang Allah itu dimana-mana, Allah itu di hati kita, Allah itu tidak di luar alam semesta tidak pula di dalamnya, bahkan ada yang sempat menjurus dalam kekufuran yang menyatakan bahwa Allah itu bisa bergabung dengan makhluknya (manunggaling kawula gusti). Lalu mana yang benar diantara jawaban itu semua?
Tidak ragu lagi, bahwa perkataan di atas semuanya adalah batil, dan menyimpang dari aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Perkataan Allah di mana-mana menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla bisa saja berada di sekitar kita, di WC, di tubuh anjing, atau di tempat-tempat najis lainnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, seorang Ulama besar yang alim menyatakan bahwa perkataan bahwa “Allah itu di mana-mana” adalah perkataan yang batil dan termasuk ucapan ahli bid’ah seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah dan orang-orang yang sejalan dengan madzhab mereka..
Jawaban yang tepat dan sesuai dengan manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah adalah bahwa Allah Ta’ala berada di langit, di Arasy, di atas seluruh makhluk-Nya dan ilmu-Nya meliputi semua tempat sebagaimana yang di dukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan ijma ulama Salaf. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman
“Artinya : Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa , lalu Dia bersemayam di atas Arsy” [Al-A’raf : 54]
Hal ini ditegaskan oleh Allah dengan mengulang-ulangnya dalam enam ayat yang lain dalam kitab-Nya.
Makna istiwa menurut Ahlus Sunnah adalah tinggi dan naik di atas Arasy sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala, tidak ada yang mengetahui caranya selan-Nya. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini.
“(Yang namanya) Istiwa itu sudah dimaklumi sedangkan caranya tidak diketahui, beriman dengannya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”.
Yang dimaksud oleh beliau adalah bertanya tentang bagaimana caranya. Ucapan semakna berasal pula dari syaikh beliau, Rabi’ah bin Abdurrahman. Demikian juga sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha. Ucapan semacam ini adalah pendapat seluruh Ahlus Sunnah, para sahabat dan para tokoh ulama Islam setelah mereka.
Allah telah menginformasikan dalam ayat-ayat yang lain bahwa Dia berada di langit dan di ketinggian, seperti dalam firman-firman-Nya.
“Artinya : Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Ghafir : 12]
Artinya : Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih di naikkan-Nya” [Fathir : 10]
“Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al-Baqarah : 255]
“Artinya : Apakah kamu merasa terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan megirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku” [Al-Mulk : 16-17]
Allah telah menjelaskan secara gamblang dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya yang mulia bahwa Dia berada di langit, di ketinggian dan hal ini selaras dengan inidikasi ayat-ayat seputar istiwa.
Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan ahli bid’ah bahwa Allah Ta’ala berada di setiap tempat (di mana-mana) tidak lain adalah sebatil-batil perkataan. Ini pada hakikatnya adalah madzhab Al-Hulul (semacam re-inkarnasi,-penj) yang diada-adakan dan sesat bahkan merupakan kekufuran dan pendustaan terhadap Allah Ta’ala serta pendustaan terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana secara shahih bersumber dari beliau menyatakan bahwa Rabb-nya berada di langit, seperti sabda beliau.
“Artinya : Tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku ini adalah amin (orang kepercayaan) Dzat Yang berada di langit?” [Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Maghazy, no. 4351, Shahih Muslim, kitab Az-Zakah no. 144, 1064]
Demikian pula yang terdapat di dalam hadits-hadits tentang Isra dan Mi’raj serta selainnya.
[Majalah Ad-Da’wah, vol. 1288]
Lalu bagamanakah dengan orang yang membela diri dengan berkata “tapi maksudnya begini lho…” (menggunakan embel-embel tafsirannya). Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jawaban semacam itu adalah jawaban yang batil baik secara mutlaq ataupun dengan embel-embel. Bila anda ditanya, Di mana Allah?, maka jawablah : Allah berada di langit, sebagaimana jawaban yang diberikan oleh seorang wanita ketika ditanya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu, lantas dia menjawab, Dia berada di langit. Sedangkan orang yang hanya mengatakan, Allah itu ada, ini jawaban menghindar dan mengelak (berkelit lidah) semata.
Adapun terhadap orang yang mengatakan, Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat (di mana-mana), bila yang di maksud dzat-Nya, maka ini adalah kekufuran sebab merupakan bentuk pendustaan terhadap nash-nash yang menekankan hal itu. Justru dalil-dalil sam’iy (Al-Qur’an dan hadits), logika serta fitrah menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan di atas lelangit, beristiwa di atas Arasy-Nya.
[Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz I, hal.132-133]
Sumber: almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar